Andini Payudara Montok Dikasihin ke Adek yang lagi Tidur

Malam itu Andini Payudara Montok Dikasihin ke Adek yang lagi Tidur hujan turun deras di Jakarta. Langit kelabu dan udara dingin membuat Laras memilih pulang lebih awal dari kantornya. Ia berdiri di depan teras rumah sambil menggenggam secangkir teh hangat, mengenakan sweater tua milik Dimas—pria yang selama ini selalu ada di sisinya, meski status mereka belum pernah benar-benar jelas. Mereka bukan pacar, tapi juga lebih dari sekadar teman. Sebuah hubungan yang tidak diberi nama, namun penuh perhatian dan rasa nyaman.

Beberapa menit kemudian, Dimas datang dengan jaket basah dan nafas terengah. Ia tersenyum, seperti biasa, seolah lelahnya tak ada artinya selama bisa melihat Laras. Tanpa banyak kata, ia duduk di samping Laras, menggenggam tangannya yang dingin. “Kamu tahu,” ucap Dimas pelan, “aku capek pura-pura biasa aja. Aku cuma pengen ada di hidupmu, lebih dari ini.”

Andini Payudara Montok Dikasihin ke Adek yang lagi Tidur Laras terdiam. Matanya berkaca-kaca, bukan karena hujan, tapi karena selama ini ia menahan diri untuk tidak berharap lebih. Namun malam itu, di bawah rintik hujan, ia membiarkan dirinya jujur. Ia bersandar di bahu Dimas dan membisikkan, “Aku juga capek menahan rindu yang nggak pernah berani aku tunjukkan.” Dalam diam, dua hati akhirnya bertemu dalam kepastian yang sederhana: mereka saling mencintai, dengan dewasa, tanpa tergesa.